PERAWAN REMAJA DALAM CENGKRAMAN MILITER "Catatan dari Pulau Buru" (Pramoedya Ananta Toer)

 

Novel nonfiksi yang berceritakan tentang para gadis remaja pribumi pada masa kedudukan Jepang di Indonesia. Novel ini dibuat sebagai pesan dari penulisnya untuk semua para perempuan khususnya “… kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang biasa menimpa para gadis seumuran kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu…. surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat…”. Novel karya Pramoedya Ananta Toer hasil tulisannya pada saat ia menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Pertemuannya dengan tahanan-tahanan lain terkait cerita dan catatan tentang para gadis remaja Indonesia yang dijadikan budak seks oleh balatentara Jepang pada Perang Dunia II.

Pramoedya Ananta Toer
Penulis
(sumber: Google) 

Berawal pada tahun 1943 masa dimana Indonesia dikuasai oleh Jepang, adanya propaganda terkait Pemerintahan Balatentara Pendudukan Dai Nippon yang akan memberi kesempatan belajar kepada pemuda dan pemudi Indonesia ke Tokyo dan Shonanto (Singapura). Kabar adanya kesempatan sekolah untuk para pemuda pemudi Indonesia ini tidak dituliskan dalam surat kabar resmi, namun hal tersebut telah menyebar ke banyak masyarakat terutama di Jawa. Adanya kabar tersebut memunculkan bermacam respon dari masyarakat, baik para remaja perempuan yang merasa tertarik akan kesempatan tersebut karena itu menjadi harapan untuk mereka dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, namun banyak juga yang tidak mengidahkan kabar tersebut. Meski begitu tetap banyak para remaja perempuan yang diangkut oleh Balatentara Dai Nippon. Hal tersebut terjadi karena beberapa alasan diantaranya gadis-gadis yang yang hatinya dipenuhi cta-cita untuk maju berbakti pada masyarakat dan bangsanya, keadaan hidup yang mencekik memudahkan orang untuk melarikan diri pada khayalan sehingga mudah terperangkap, dan peran orang tua yang bekerja mengabdi pada Jepang yang tentu saja harus patuhi kebijakan penguasa. Adanya kabar tersebut tidak dikabarkan secara resmi yakni dituliskan dalam surat kabar tentu ternyata menjadi rencana dan strategi mereka untuk menghilangkan jejak dan bukti terkait kejahatan perang.

Para gadis remaja yang diperkirakan usia 13-17 tahun dan mayoritas yang baru menyelesaikan sekolah dasar. Gadis remaja dijemput oleh Balatentara Dai Nippon langsung di rumah mereka yang diangkut menggunakan mobil. Mereka dikumpulkan di tempat pengumpulan sementara yang kemudian diseragamkan pakaian putih dan rambut dipotong pendek sebelum melanjutkan berlayar menggunakan kapal-kapal. Perjalanan panjang mereka berlanjut setelah menaiki kapal dengan penjagaan yang ketat. Di kapal mereka tidak diizinkan berbicara dengan awak kapal yang ada, dan kecurigaan mereka mulai muncul bahwasanya mereka telah ditipu. Namum tiada daya dan upaya yang bisa mereka lakukan karena mereka telah terperangkap. Perlakuan yang tidak baik telah mereka terima sejak dalam perjalanan selama di kapal, hanya ada tangisan dan jeritan yang memenuhi kapal tersebut.

Perjalanan mereka di kapal bukanlah sebuah akhir dari hal buruk yang akan mereka alami, semua berlanjut saat mereka sampai di sebuah Pulau. Berdasarkan catatan dan cerita narasumber, beberapa kelompok dikirimkan ke beberapa wilayah namun tidak dapat dipastikan dimana saja itu. Kisah pada novel ini banyak didapatkan catatan dan cerita terkiat para gadis remaja yang dikirimkan ke Pulau Buru. Tempat dimana banyak serdadu Jepang, di sanalah mereka sepenuhnya kehilangan kebebasan dalam cengkraman militer dan buruknya lagi mereka tidaklah menjadi seorang pelajar namun menjadi budak seks para serdadu Jepang. Hingga Jepang dinyatakan kalah perang dengan Sekutu. Para balatentara semuanya pergi dan meninggalkan para gadis remaja tersebut begitu saja di Buru. Setelah ditinggalkan mereka merasa kebingungan dan tidak tahu bagaimana cara untuk pulang kembali ke Jawa, serta beratnya hati untuk kembali dikaranakan rasa rendah diri tidak sanggup menghadapi keluarga dan masyarakat. Pada akhirnya mereka bertemu pria Buru yang membawa mereka jauh ke dalam pegunungan. Di Buru orang punya harta maka dia akan dapat perempuan dan perempuan itu harta. Waktu telah berlalu bertahun-tahun setelah kekalahan Jepang dan Indonesia telah merdeka, namun mereka tidak pernah bisa pulang.

Pada bab akhir novel ini merupakan sebuah catatan dari seseorang yang sedang menjalani pengasingan di Pulau Buru sekitar tahun 70an. Dalam catatannya diceritakan pengalaman menyusuri pengunungan dan bertemu masyarakat lokal Buru. Hingga adanya pertemuan dengan perempuan perawakan Jawa yang berbeda dengan para perempuan Buru. Hal tersebut memunculkan kecurigaannya bahwa perempuan-perempuan tersebut adalah keturunan Jawa. Ia melakukan perjalan ke desa-desa di pedalaman Buru dan bertemu perempuan-perempuan Jawa. Kondisi mereka sangat memprihatinkan, untuk berkomunikasi secara terang-terangan terkait asal merekapun sangat sulit karena telah terikat sumpah adat. Sumpah adat yang dilakukan oleh masyarakat desa terhadap mereka yang mengikat agar tidak pergi dari desa tersebut. Meskipun seumur hidupnya adalah kesengsaraan terhadap adaptasi lingkungan yang tidak mudah di pedalaman mereka hanya bisa pasrah dan menerima keadaan. Usia mereka telah senja tidak ada lagi harapan untuk mereka hanya dapat meratapi nasibnya hingga akhir hayat jauh di pedalaman pegunungan Buru.

 

Komentar

Postingan Populer