PEREMPUAN DI TITIK NOL (Nawal El- Saadawi)

 

Diawali dengan kunjungan seorang dokter psikiater di sebuah penjara wanita. Nawal El-Saadawi dimana ia juga merupakan penulis novel feminis atau penulis pejuang hak-hak wanita dan salah satunya adalah novel Women At Point Zero (Perempuan di Titik Nol). Lahir di Desa Kafr Tahia di tepi Sungai Nil. Ia merintis karirnya dengan memulai prakteknya di desa, rumah sakit–rumah sakit di Kairo, hingga ia menjadi Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir, selain itu juga ia merupakan Pemimpin Redaksi Majalah Health. Akan tetapi, pada 1972 ia bebastugaskan dari jabatannya dikarenakan ia menerbitkan sebuah buku nonfiksinya yang berjudul Women and Sex yang banyak ditentang pada saat itu. Namun, hal itu tidak menghentikan langkahnya untuk terus menyuarakan tentang perempuan dalam karya-karya tulisnya. Buku-buku yang ia tulis banyak terkait status, psikologi, dan seksualitas wanita.

Nawal el-Saadawi

(Penulis)

(Sumber: Google) 

Novelnya yang berjudul Women At Point Zero (Perempuan di Titik Nol) hasil dari pertemuan penulis dengan seorang perempuan di penjara wanita. Mengisahkan seorang perempuan yang bernama Firdaus. Ia menceritakan kisah hidupnya saat ia masih kanak-kanan hingga akhirnya ia berada di balik jeruji besi penjara dan menunggu untuk eksekusi hukuman gantungnya. Perempuan ini mencuri perhatian penulis saat ia melihat seorang perempuan yang di penjara karena kasus pembunuhan. Pembunuhan yang dilakukan yakni seorang perempuan yang berani membunuh seorang laki-laki, dimana pada masa itu sangat jarang sekali ditemukan ada kasus tersebut. Firdaus sangat menyambut gembira hukuman gantung yang akan dilakukan terhadapnya, dan dengan tegas ia menolak grasi ke presiden yang diusulkan dokter penjara untuk keringanan hukumannya. Menurutnya vonis tersebut merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran sejati.

Firdaus gadis kecil tumbuh di lingkungan keluarga yang sangat menjunjung tinggi patriarki. Perempuan selalu di bawah laki-laki kedudukannya, hal tersebut telah ia lihat dan alami sedari kecil. Firdaus kecil melihat bagaimana ibunya diperlakukan oleh ayahnya seperti seorang pelayan tidak lebih dari itu. Ia di didik keras menjadi perempuan yang dapat melakukan segala hal terkait semua pekerjaan dan tidak ada kebebasan apapun untuknya. Perlakuan yang ia dapatkan sampai membuatnya berpikir ibunya seperti bukan ibunya begitupun ayahnya. Ibunya hanya boleh meperhatikan serta mengutamkan ayah dan adik laki-lakinya. Jika anak perempuan yang meninggal ayah akan tetap pada rutinitas biasanya makan malam, meminta ibu membasuh kakinya, dan tidur seolah tidak terjadi apapun, sedangkan jika anak laki-laki yang meninggal ayah akan memukul ibu, makan malam, dan tidur.

Hal yang sangat memilukan yang dialami Firdaus adalah bagaimana ia telah mengalami pelecehan seksual sejak ia masih sangat kecil dan mirisnya hal tersebut dilakukan orang-orang yang sangat dekat dengannya, orang-orang yang bahkan seharusnya menjadi tempat berlindung baginya. Firdaus kecil yang polos hanya dapat terdiam dan memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikiran dan ketidak tahuannya akan banyak hal yang tidak ia pahami. Sekolah tidak pernah dia dapatkan saat masih bersama kedua orang tuanya dan sekolah hanya diperbolehkan untuk anak laki-laki. Mereka hanya memikirkan bagaimana saat ia dewasa nanti dapat menikahkan anak perempuannya dengan mahar yang tinggi.

            Karena banyak hal Firdaus tinggal bersama pamannya dan di sinilah akhirnya ia di sekolahkan di sekolahan khusus perempuan oleh pamannya. Setelah ia selesai sekolah menengah dan ijazah telah ia dapatkan, dengan harapan besar ia dapat melanjutkan sekolahnya untuk menyongsong masa depan yang cerah. Namun, hal tersebut dipatahkan dengan dorongan bibinya untuk suaminya agar menikahkan Firdaus dengan mahar yang besar dan dapat menguntungkan mereka. Karena tidak ada lagi hal yang dapat dilakukan perempuan seusianya selain menikah. Pupuslah sudah harapan Firdaus dan ia hanya akan dibelenggu dalam sebuah pernikahan. Pernikahan ini menjadi rangkaian penderitaan yang dialaminya bahkan ini bukahlah akhir dari perjalanan hidupnya. Pernikahan ini menjadi awal perjuangan hidup Firdaus dewasa, ia kembali memperoleh perlakuan yang tidak baik sebagai seorang istri juga perempuan. Hingga ia pun memilih pergi dan berjalan tanpa arah di tepi Sungai Nil yang akan selalu menjadi saksi bisu dalam segala yang ia alami.

            Banyaknya pertemuan dalam kehidupan Firdaus hingga akhirnya ia menjadi pelacur ulung. Namun, semuannya seolah membuat ia terlihat keluar kandang harimau dan masuk ke kandang harimau lainnya, serta seringkali membuat ia terus masuk dalam lubang yang sama yang dapat menjatuhkannya pada titik nolnya. Berbagai hal yang telah ia alami dan lalui membuatnya banyak berpikir tentang hidup yang ia jalani sebagai seorang perempuan. Hingga membuatnya berpikir dan menyadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur, sedangkan perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum perempuan. Terhadap segala yang dialami Firdaus tidak lepas dari peran laki-laki yang ada dihidupnya juga para perempuan yang juga membuat jatuh kaumnya sendiri. Firdaus mencoba selalu menjadi perempuan yang menegakkan pandangannya kedepan bukan memandang ke tanah, namun tetap saja semua yang terjadi karena ia seorang perempuan.

 

*Note: Sebagai perempuan ini sangat memilukan, aku kehilangan kata-kata yang dapat menggambarkan perasaan itu. Bahkan, untuk meyuarakannya saja ini seolah memalukan bagi kami perempuan. Ya, aku merasakan titik nol itu.

Komentar

Postingan Populer