KEBAYA SIMBOK

    Mbok dulu cucu kecilmu ini  sangat bangga ketika orang bilang aku paling mirip denganmu, apa sekarang cucu kecilmu yang telah dewasa  ini masih mirip denganmu? Atau sudah semakin mirip denganmu setelah memakai kebayamu?. Entahlah, yang pasti aku sedang sangat merindukanmu saat ini, seperti ingin bercerita dan bertanya mengenai banyak hal padamu. Jikalau aku bisa mengulang waktu aku ingin bercerita dan bertanya sejuta kali sehari padamu, tapi pada kenyataannya itu sebuah ketidak mungkinan dan tentu saja aku tahu itu. Aku hanya sekedar berangan-angan saja tidak lebih.

    Mbok saat-saat bersamamu itu selalu menjadi masa yang sangat indah dan meyenangkan, meskipun samar-samar yang kuingat saat ini tapi rasanya masih berkesan di hati. Canvas kosongku banyak di warnai dengan tinta warna-warnimu dengan kuas sederhanamu. Simbok sosok perempuan Jawa yang bermigrasi ke Pulau Sumatra pada tahun 1970an mengikuti sang suami yang saat itu sedang gencarnya pemerataan penduduk. Bergelut dengan rimbanya hutan Sumatra, sampai akhirnya dapat menyalurkan bakat kita orang Jawa dalam bercocok tanam hingga ke anak cucunya saat ini. 

    Ingat saat Simbok pulang panen singgang (anak padi) dengan mengayuh perahu sederhana milikmu dangan di penuhi panenan padi di atas perahumu, dan tidak lupa dengan caping (topi bambu) di kepalamu sebagai penenduh wajah dan kepalamu dari teriknya sinar matahari, serta ani-ani (alat potong padi) sebagai alat sederhana pemotong padi. Simbok tampak keren saat itu meskipun usiamu yang telah sepuh Simbok tetap bekerja keras dengan semangat. 

    Perahumu jadi mainan pavoritku kala itu, apalagi saat musim banjir dan saat panen padi tentunya. Perahu menjadi kendaraan utama bagimu dan bagi seluruh masyarakat di desa. Simbok paling pandai mengemudikannya dengan keseimbangan yang baik dan melajukan perahu dengan arah yang tepat begitupun dengan semua putra putrimu. Sedangkan, aku sulit untuk mengemudikannya menjadikan arahnya berbelok-belok tidak karuan. Saat ini perahumu tidak ada lagi dapat aku lihat sepertinya telah rusak dan rapuh di makan usia, tapi itu juga terjadi terhadap sebagian besar perahu milik masyarakat desa. Padi pun tidak banyak lagi di tanam karena tergantikan dengan si kokoh tapi rapuh kelapa sawit, katanya hasilnya lebih menggiurkan dan menyejahterakan. Meskipun, harus membeli beras impor di tahun-tahun terakhir menjelang panen padi yang tidak lagi banyak. 

    Mbok ingat di kolam samping rumahmu? Banyak sekali bermacam-macam ikan, dan senang sekali saat mandi sore bersamamu, bermandikan air dengan ratusan ikan di dalamnya serta suara loncatan ikan yang terdengar gemuruh namun merdu di telinga, seolah mengisyaratkan sudah waktunya ikan di panen. Panen ikan tiba ramai-ramai masyrakat desa berbondong-bondong ikut serta dalam panen. Sekujur tubuh penuh lumpur siapa takut karena kata iklan berani kotor itu baik, baik karena semuanya gembira ria dengan gelak tawa dan bahagia saat dapat menangkap para ikan-ikan. Hasil panen melimpah ruah hingga tiada hari tanpa makan ikan. Ikan tidak hanya sebagai asupan gizi saja tetapi juga sebagai asupan dompet. Hasil ikan yang begitu banyak dapat di olah menjadi makanan cadangan yang dapat bertahan lama yaitu di asin. Penjualan ikan asin banyak dilakukan oleh masyarakat desa. Jelas karena ikan asin sangat nikmat di jadikan lauk bersama nasi hangat. Namun, kini tak ikan-ikan tak seramai dulu para para pemburu ikan dengan tenaga listrik menangkap dan memusnahkan ikan-ikan  kecil maupun besar. Tidak kulihat lagi gelak tawa masyarakat pada saat panen dan tangkap ikan.

    Mbok jika aku ingat susur (tembakau) di mulutmu, aku ingat saat dimana aku mencuri sirihmu dan kawanan pelengkapnya. Simbok ternyata berbohong sirih ini sungguh tidak enak rasanya. Saat aku bertanya “mbok rasane nginang (nyirih) ki piye? Ngopo simbok seneng nginang ben ngopo sih? Medeni loh untune abang-abang koyo ono darahe”. Katamu “nginang ki enak rasane manis, nginang ki ben untune kuat ora ompong, ra nginang yo kecut lambene”. Nyatanya nginang rasanya pahit, sepat, dan pedas, tapi di usiamu yang saat itu sudah sepuh gigimu masih banyak yang utuh. Sedangkan aku sekarang sudah memiliki gigi berlubang. Orang tua sekarang tidak lagi melakukan kebiasaan nginang, hanya di desa terpencil yang kutemui orang-orang yang nginang contohnya seperti orang Suku Batin di Kampung Baruh para ibu-ibunya masih banyak yang nginang, tentu dengan melihat mereka aku mengingatmu mbok. Parasnya cantik dengan bibir merah tanpa perlu gincu (lipstik) dan senyum lebar dengan gigi kuatnya serta susur di balik bibirnya sama denganmu. Sama juga denganmu yang berbalut kebaya bermotif bunga-bunga dengan kain jarik menambah keanggunanmu dan mereka. 

    Mbok badan bungkukmu sebab kerja kerasmu menggendong bakul dengan banyak barang bawaan di masa mudamu tetap anggun dengan balutan kebayamu itu.  Simbok saat itu tetap terlihat seperti perempuan tangguh dengan tubuh bungkuk dan kerut di wajah, lengan, dan kakimu. Tubuh bungkuk dan kerutan di sekujur tubuhmu tak menghalangi semangatmu untuk terus bekerja dan beraktivitas. Putrimu juga menjadi perempuan setangguh itu mbok, tapi tidak dengan cucumu yang seringkali mengeluhkan banyak hal. Simbok tahu kerutan itu sudah kutemukan di putrimu, tidak seperti saat aku melihat hal itu di dirimu mbok, kali ini rasanya menyayat hati saatku pandangi semua lekuk tubuhnya yang memiliki banyak kerutan. Tapi aku berharap selalu ia senantiasa di beri kuat dan sehat. Mbok tentunya simbok telah bahagia di kehidupan setelah kematian yang di percaya manusia sejah jutaan tahun lalu. Entah simbok mendengar cerita dan keluhku tapi yang pasti aku bangga mengenakan kebaya simbok.






Komentar

Postingan Populer